Buku
Syu'bah Asa dan Ulil Abshar-Abdalla

Gus Dur: Melawan Melalui Lelucon

  • asti sundarimembuat kutipan8 tahun yang lalu
    Sampean ini apa tidak ingat firman ‘permudahlah oleh kalian, jangan persulit’ (yassiru wa la tu’assiru)! Asal tujuannya baik, dan untuk menolong manusia lain, apa salahnya?”
  • muhammadfakhrurrijalmembuat kutipan5 tahun yang lalu
    Dan nanti akan kita lihat, Gus Dur sendiri, paling tidak sebagai aktivis, kalau bukan juga sebagai kolumnis, tidak bisa jauh dari kekuasaan. Ia selalu bergerak di dekat-dekat situ, meskipun oleh pemerintah waktu itu tidak dibolehkan menjadi pemain. Ini bisa dibandingkan dengan para intelektual lain mana pun yang umumnya, memang, bermental swasta. Kalaupun hidupnya berhubungan dengan pemerintah, ya paling-paling makan upah, sebagai pegawai atau dosen. Gus Dur tidak pernah makan upah. Kolom-kolomnya sendiri, sebagian, sudah mencerminkan antusiasmenya terhadap politik dan masalah kenegaraan. Tidak hanya Gus Dur yang menulis soal luar negeri. Tetapi, rasa-rasanya, hanya dia yang datang dengan ide lebih dahulu ( dan itulah yang membuatnya menjelaskan apa yang sedang terjadi , dan bukan sebaliknya) dan menulis sambil
  • asti sundarimembuat kutipan8 tahun yang lalu
    Khahibin nas ‘ala qadri ‘uqulihim,” kata Nabi Muhammad. Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan kemampuan akal mereka.
  • oryza novianingtyasmembuat kutipan4 tahun yang lalu
    Asy’ari (ayah pendiri Pesantren Tebuireng, K. Hasyim),
  • Glen Bontotmembuat kutipan4 tahun yang lalu
    Jangan-jangan, inilah yang paling dia gemari , walaupun bukan yang paling banyak dia tulis.
  • Erik Rinaldimembuat kutipan5 tahun yang lalu
    Dikotomi itu, terutama, mengambil bentuk pemisahan antara soal-soal duniawi dan soal-soal ukhrawi, di mana sikap dan pandangan si muslim modern itu menjadi berjarak sangat jauh dalam menangani antara keduanya.
  • muhammadfakhrurrijalmembuat kutipan5 tahun yang lalu
    Dan nanti akan kita lihat, Gus Dur sendiri, paling tidak sebagai aktivis, kalau bukan juga sebagai kolumnis, tidak bisa jauh dari kekuasaan. Ia selalu bergerak di dekat-dekat situ, meskipun oleh pemerintah waktu itu tidak dibolehkan menjadi pemain. Ini bisa dibandingkan dengan para intelektual lain mana pun yang umumnya, memang, bermental swasta. Kalaupun hidupnya berhubungan dengan pemerintah, ya paling-paling makan upah, sebagai pegawai atau dosen. Gus Dur tidak pernah makan upah. Kolom-kolomnya sendiri, sebagian, sudah mencerminkan antusiasmenya terhadap politik dan masalah kenegaraan. Tidak hanya Gus Dur yang menulis soal luar negeri. Tetapi, rasa-rasanya, hanya dia yang datang dengan ide lebih dahulu ( dan itulah yang membuatnya menjelaskan apa yang sedang terjadi , dan bukan sebaliknya) dan menulis sambil seol
  • muhammadfakhrurrijalmembuat kutipan5 tahun yang lalu
    Dan nanti akan kita lihat, Gus Dur sendiri, paling tidak sebagai aktivis, kalau bukan juga sebagai kolumnis, tidak bisa jauh dari kekuasaan. Ia selalu bergerak di dekat-dekat situ, meskipun oleh pemerintah waktu itu tidak dibolehkan menjadi pemain. Ini bisa dibandingkan dengan para intelektual lain mana pun yang umumnya, memang, bermental swasta. Kalaupun hidupnya berhubungan dengan pemerintah, ya paling-paling makan upah, sebagai pegawai atau dosen. Gus Dur tidak pernah makan upah. Kolom-kolomnya sendiri, sebagian, sudah mencerminkan antusiasmenya terhadap politik dan masalah kenegaraan. Tidak hanya Gus Dur yang menulis soal luar negeri. Tetapi, rasa-rasanya, hanya dia yang datang dengan ide lebih dahulu ( dan itulah yang membuatnya menjelaskan apa yang sedang terjadi , dan bukan sebaliknya) dan menulis sam
  • Aslih Fahmimembuat kutipan5 tahun yang lalu
    Umumnya, para kiai dan santri di pesantren itu, meskipun tiap hari bergelut dengan kitab-kitab fiqh, dengan ajaran-ajaran tertulis, mereka kurang suka “dikuasai” oleh skripturalisme. Kalau mereka terbentur pada semacam dilema: apakah mendahulukan kepentingan konkret kehidupan atau teks asli dalam kitab, maka mereka biasanya dengan segala cara berusaha mencari alasan untuk lolos dari “cengkeraman” teks. Inilah yang dalam tradisi pesantren disebut dengan “hila”, atau siasat untuk lolos dari teks. Dalam beberapa hal, tampak juga “insting” semacam ini pada Gus Dur. Yang penting pada “hilah” bukanlah erudisi atau kedalaman dan kecanggihan sebuah argumen, tetapi adalah kebutuhan praktis untuk memecahkan masalah.
  • randibayu94membuat kutipan5 tahun yang lalu
    Termasuk dalam perhatiannya yang luas adalah kegemarannya pada perkembangan politik berbagai negara, lengkap dengan ideologi-ideologi . Jangan-jangan, inilah yang paling dia gemari , walaupun bukan yang paling banyak dia tulis. Sehingga, melihat kolom-kolomnya saja kita sebenarnya tidak heran kalau Gus Dur menjadi presiden. Mungkin ada benarnya
fb2epub
Seret dan letakkan file Anda (maksimal 5 sekaligus)